Coretan Patah Tumbuh
Aku
pernah berada dalam keadaan jatuh terpuruk,
lalu merutuki diriku sendiri bahwa aku begitu buruk. Aku hampir putus asa. Aku
merasakan sepi yang paling, merasa kecil dan terasing. Aku benci pada diriku
sendiri, rasanya ingin menepi dan mengasingkan diri.
Hari
itu sama sekali tidak seramah dengan apa yang ada di pikiranku. Aku berharap
bahwa semua akan sesuai dengan apa yang aku harapkan—namun kenyataan pelik yang
harus aku terima. Aku merasa usahaku sudah maksimal, namun yang kudapat adalah
gagal.
Benakku
dihantui kata “mengapa dan kenapa?” mengapa pada aku yang berusaha yang harus
menerima kenyataan yang tak sesuai harapan? Kenapa pula pada yang main-main dan
tidak bersungguh yang mendapatkan hasil dengan gampang? Kenapa? Kukatakan waktu
itu Tuhan tidak adil.
Aku
pula pernah membanding-bandingkan perkembanganku dengan orang lain. Rasanya aku
tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan teman sebaya. Aku merasa jauh tinggal
di belakang. Sebenarnya tidak ada gunanya kalau aku hanya sekadar
membandingkan, tanpa bergerak dan berusaha lebih gigih lagi.
Ingat
sayang, setiap orang punya kecepatan sendiri-sendiri—namun jangan lalai juga,
jangan mau terus lambat, apalagi sampai mengabaikan tanggung jawab.
Aku
pula pernah berada di titik tertinggi pencapain, setelah proses panjang yang
aku lewati. Aku merasa tinggi, tapi tak lupa sadar diri. Bahwa bagiku
pencapaian-pencapaian hanya memunculkan ketakutan-ketakutan baru, sebab dengan
pencapaian itu aku merasa semakin dituntut untuk lebih dalam melakukan sesuatu.
Aku
pula yang mengundang masalah untuk diriku
sendiri, membesar-besarkan hal sepele yang sebenarnya boleh dikatakan tidak
ada. Itu semu. Aku selalu berusaha berpikir jernih, berusaha meluruskan
semuanya—namun yang kutemui hanyalah jalan buntu.
Jadi
sayang, boleh jadi kamu tidak temukan keadilan pada saat-saat yang kamu
harapkan. Tapi kamu harus tahu, bahwa adil itu benar-benar ada dan akan selalu
ada. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti Tuhan akan tunjukkan.
Barangkali
ia yang tanpa usaha akan mendapat hasil dengan cara yang instan, ia bahagia
saat itu—tapi itu dalam bentuk kebahagiaan semu. Bisa jadi kamu yang berusaha
dengan gigih, tidak langsung mendapatkan apa yang kamu harapkan—tapi nanti,
bersabarlah kebahagiaan sungguhan akan datang padamu.
Percayalah,
Tuhan itu menilai proses kita—bukan hasil yang didapat tanpa usaha apa-apa.
Aku
tahu, kita semua ingin jadi versi yang terbaik untuk diri sendiri maupun orang
lain. Seperti mesin yang kehabisan oli kita mulai rusak—ketika kita lelah kita
sering melompati tugas satu ke tugas yang lain tanpa kejelasan yang nyata.
Pada
akhirnya, kita hanya menapaki lingkaran hitam nan melelahkan dari tugas yang
tiada akhir.
Memikirkan
sesuatu secara berlebihan, padahal belum tentu itu kejadian. Bahkan
sampai-sampai berprasangka buruk pada Tuhan, menganggap hidup tidak pernah
memihak, kemudian membenci Tuhan.
Hidup
terus berjalan, mengapa tidak menunda kekhawatiran sampai besok? Dan besok
tunda lagi ke hari berikutnya? Jika bisa memecahkan masalah, pecahkan. Jika
tidak, cobalah untuk berhenti mengkhawatirkannya. Berhenti membuat hidup
terlalu serius.
Sebab
apa-apa yang telah kamu berikan pada semesta, maka semesta juga akan memberikan
hal yang sama.
Aku
dan kita semua tahu, bahwa hidup tidak selamanya indah, nikmati saja proses
perjuanganmu, jangan mudah putus asa. Hargailah proses untuk apa yang kita
semua semogakan kelak.
Perihal patah tumbuh, itu tergantung dirimu. Apa-apa yang sudah patah akan tumbuh seiring berjalannya waktu, selama kamu mau berusaha menumbuhkan harapan untuk kembali utuh.
-
Aku,
bukan anak Sultan, yang ingin apa-apa selalu terkabul dengan cara yang instan.
😍bagus ☺
ReplyDeleteSuka
ReplyDelete😍😍
ReplyDeleteGood, terus berkarya
ReplyDelete